Oleh: Adam Mulya Bunga Mayang, S.H., M.H. *)
Keberatan atas pelanggaran penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) merupakan hal biasa yang terjadi di berbagai negara yang menyelenggarakan pemilu. Pengaduan keberatan pemilu acapkali disampaikan oleh berbagai pihak karena merasa tidak terpenuhinya suatu hak dan adanya tindakan pelanggaran, termasuk perselisihan antara otoritas penyelenggara pemilu dengan peserta pemilu.
Penyampaian keberatan tersebut merupakan bagian dari sistem keadilan pemilu (electoral justice system) yang memberikan perlindungan terhadap legalitas proses pemilu termasuk hak-hak politik warga negara. International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA), lembaga internasional dengan fokus menyebarluaskan kesinambungan demokrasi di seluruh dunia, menegaskan bahwa sistem keadilan pemilu atau electoral justice system secara umum merupakan sarana dan mekanisme untuk memastikan bahwa setiap tindakan, prosedur, dan keputusan yang berkaitan dengan proses pemilu telah sejalan dengan konstitusi, undang-undang, instrumen internasional, dan semua ketentuan lainnya; serta melindungi atau memulihkan hak-hak pemilu, memberikan kepercayaan kepada setiap orang yang merasa dirugikan haknya untuk mengajukan keberatan, didengarkan pendapatnya dan diproses secara hukum/ajudikasi.
Dengan demikian, ketepatan prosedur penanganan penyelesaian atas keberatan pemilu merupakan kunci guna memastikan penyelenggaraan pemilu berjalan secara demokratis. International Foundation for Electoral System (IFES), lembaga internasional dengan fokus memberikan dukungan untuk pemilu di negara demokrasi, memberikan catatan betapa pentingnya penanganan pengaduan keberatan pemilu, mengingat seringkali timbul masalah pada otoritas pemilu karena jumlah keberatan yang banyak serta mendesaknya keberatan karena singkatnya jangka waktu pemilu.
Berdasarkan catatan tersebut, maka peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem penanganan keberatan harus secara jelas menjabarkan tanggung jawab untuk menerima dan menangani berbagai jenis keberatan: mulai dari “pintu masuk” atau “point of entry” dan pemeriksaan awal, penyelidikan, proses banding, hingga proses pengambilan keputusan dalam menyelesaikan keberatan/sengketa yang terkait dengan pemilu.
Mekanisme Penyampaian Keberatan atas Pelanggaran Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia
Di Indonesia, ketentuan penanganan keberatan atas penyelenggaraan pemilu telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2022 (UU Pemilu). Lebih lanjut, UU Pemilu tersebut mengklasifikasikan jenis-jenis keberatan pemilu, prosedur penyampaian keberatan pemilu, termasuk lembaga yang berwenang memeriksa dan menyelesaikan keberatan pemilu dimaksud. Adapun keberatan tersebut diklasifikasikan menjadi 4 kategori, yakni pelanggaran pemilu, sengketa proses pemilu, perselisihan hasil pemilu, dan tindak pidana pemilu.
1. Pelanggaran Pemilu
Pelanggaran pemilu terbagi menjadi 2 jenis yakni pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu serta pelanggaran administratif pemilu. Pelanggaran pemilu dapat berasal dari temuan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun laporan langsung yang disampaikan oleh berbagai pihak kepada Bawaslu dengan jangka waktu paling lama 7 hari kerja sejak diketahui terjadinya dugaan pelanggaran Pemilu.
Terhadap temuan atau laporan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (Komisi Pemilihan Umum/KPU dan Bawaslu), maka Bawaslu akan meneruskan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk dilakukan penyelesaiannya. Adapun putusan DKPP bersifat final dan mengikat yang berupa sanksi teguran tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap atau rehabilitasi.
Adapun pelanggaran administratif pemilu meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan setiap tahapan pemilu. Bawaslu kemudian menerima dan memutus pelanggaran administratif pemilu paling lama 14 hari kerja setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi oleh Bawaslu.
Putusan Bawaslu terhadap pelanggaran administratif pemilu wajib ditindaklanjuti oleh KPU. Dalam hal KPU menindaklanjuti dengan mengeluarkan keputusan berupa pemberian sanksi pembatalan calon anggota legislatif ataupun pembatalan pasangan calon presiden dan wakil presiden, maka terbuka ruang bagi calon tersebut untuk mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung dengan proses penyelesaian paling lama 14 hari kerja. Adapun putusan Mahkamah Agung tersebut bersifat terakhir dan mengikat (tidak dapat dilakukan upaya hukum lain).
2. Sengketa Proses Pemilu
Sengketa proses pemilu merupakan sengketa yang terjadi antarpeserta pemilu maupun sengketa antara peserta pemilu dengan KPU akibat dikeluarkannya Keputusan KPU. Permohonan sengketa proses pemilu dapat disampaikan kepada Bawaslu yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikannya dengan tenggat waktu penyelesaian paling lama 12 hari kerja sejak permohonan diterima oleh Bawaslu.
Putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses pemilu bersifat terakhir dan mengikat. Terdapat pengecualian terhadap putusan sengketa proses pemilu yang berkaitan dengan (i) verifikasi partai politik (parpol) peserta pemilu, (ii) penetapan daftar calon tetap anggota legislatif, dan (iii) penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Terhadap 3 putusan Bawaslu tersebut, para pihak dapat mengajukan upaya hukum lanjutan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang akan memeriksa paling lama 21 hari. Adapun putusan PTUN tersebut bersifat terakhir dan mengikat.
Berdasarkan konstruksi pengaturan di atas telah tegas diatur bahwa wewenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang berkaitan dengan sengketa proses pemilu merupakan kewenangan Bawaslu serta PTUN, setelah dilakukan upaya administratif di Bawaslu.
3. Perselisihan Hasil Pemilu
Perselisihan hasil pemilu hanya dapat disampaikan oleh parpol, perseorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai peserta pemilu kepada Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan kerangka pengaturan tersebut, Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga satu-satunya yang berwenang memeriksa dan mengadili perselisihan hasil pemilu sebagaimana yang diatur juga dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Adapun yang menjadi objek perselisihan hasil pemilu adalah Keputusan KPU tentang penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Dengan demikian, KPU sebagai penyelenggara pemilu menjadi pihak termohon dalam persidangan perselisihan hasil pemilu. Selain itu, UU Pemilu memberikan tenggat waktu bagi pemohon (peserta pemilu) untuk menyampaikan permohonan perselisihan hasil pemilu paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkannya Keputusan KPU tersebut.
4. Tindak Pidana Pemilu
Dugaan tindak pidana pemilu dapat disampaikan oleh berbagai pihak kepada Bawaslu. Pemeriksaan awal akan dilakukan oleh Bawaslu guna menentukan apakah tindakan yang diduga tersebut merupakan suatu tindak pidana pemilu. Bawaslu kemudian akan meneruskan laporan tersebut kepada Polri apabila setelah berkoordinasi dengan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) diduga terdapat unsur tindak pidana pemilu. Sentra Gakkumdu tersebut terdiri dari unsur Bawaslu, penyidik dari Polri, dan penuntut dari Kejaksaan.
Adapun alur penyelesaian tindak pidana pemilu diawali dengan penyidik Polri menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum (Kejaksaan) paling lama 14 hari. Berikutnya Kejaksaan akan melimpahkan berkas perkara tersebut ke Pengadilan Negeri (PN) paling lama 5 hari.
Guna memberikan kepastian hukum, maka UU Pemilu memberikan batasan waktu bagi PN untuk memutus perkara tindak pidana pemilu paling lama 7 hari. Putusan PN dimaksud diberikan ruang untuk diajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) yang akan memutuskan perkara paling lama 7 hari. Adapun putusan PT tersebut bersifat terakhir dan mengikat.
Hal menarik terjadi apabila kasus tindak pidana Pemilu yang menurut UU Pemilu dapat mempengaruhi perolehan suara peserta pemilu, maka putusan pengadilannya harus sudah selesai paling lama 5 hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional. Keadaan ini menggambarkan kompleksitas penanganan keberatan pemilu karena keberatan disampaikan dalam waktu yang sangat singkat.
Meski penanganan keberatan atas pelanggaran penyelenggaraan pemilu telah diatur secara tegas dalam UU Pemilu, dapat saja pengadu menyampaikan keberatannya kepada lembaga yang tidak berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus keberatan pemilu dimaksud. Bahkan, pengadu dapat menyampaikan keberatannya kepada lebih dari satu lembaga. Dalam hal pengadu menyampaikan keberatannya kepada pengadilan, hakim akan menerima pengaduan keberatan tersebut mengingat adanya asas “ius curia novit” yang menganggap hakim mengetahui semua hukum sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara.
Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dilaksanakan upaya edukasi kepada masyarakat untuk menyampaikan keberatan pemilu kepada Bawaslu pada setiap tingkatan baik tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, maupun Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kecamatan. Bagi lembaga yang berwenang menyelesaikan keberatan pelanggaran penyelenggaraan pemilu juga perlu diberikan pemahaman yang mencukupi terhadap ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalam UU Pemilu. Namun, khusus untuk perselisihan hasil pemilu hanya dapat disampaikan oleh peserta pemilu kepada Mahkamah Konstitusi.
*) Analis Hukum pada Asisten Deputi Bidang Pemerintahan Dalam Negeri, Sekretariat Kabinet